CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Selasa, 11 Agustus 2020

Pelatihan RT-PCR dari LPPT UGM

Assalamualaikum wr.wb, pada kesempatan ini saya akan menyampaikan rangkuman materi dari Pelatihan Real Time Polimerize Chain Reactions (RT-PCR) yang diselenggarakan oleh Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) UGM dengan Pembicara ibu Prof. Dr. drh. Rini  Widayanti, M.P dari Departemen Biokimia Fakultas Peternakan dan Bapak dr. Ahmad Hamim Sadewa, Ph.D dari Departemen Kimia Fakultas Kedokteran, Keperawatan dan Kesehatan Masyarakat. RT-PCR saat ini banyak menjadi topik pembicaraan karena penerapannya digunakan untuk tes swab pada analisis COVID-19. Untuk mengetahui dasar-dasar dari instrumen analitik kimia-biologi ini berikut saya coba terangkan hasil pelatihan 7 AGustus 2020 yang lalu dengan, semoga pembaca mudah memahami.

Sesi pertama didisi oleh Prof Rini dengan topik desain primer. Dalam penggunaan RT-PCR perlu dilakukan pembuatan primer (RNA Primer) yakni DNA rantai tunggal (oligonukleotida) yang bersii kurang lebih 10 basa nitrogen dan berfungsi inisiasi proses polimerisasi DNA in vitro. Dengan adanya primer ini maka dapat membatasi daerah mana yang akan diampilifikasi pada PCR. Primer berisi urutan basa nukleotida yang tepat berpasangan dengan urutan basa DNA target. Beberapa parameter untuk desain primer adalah:

1.    1.  Tentukan tujuan

Contohnya, amplifikasi gen universal, deteksi ada virus penyakit (seperti pada kasus COVID-19), walking primer untuk DNA sequencing fragment .

2.       2. Menyiapkan sekuen referensi

Contoh pada target virus rabies maka perlu dikumpulkan sekuen virus rabies, atau cari referensi spesifik gen rabies sebagai targetnya. Pencarian referensi dapat dilakukan di NCBI yaitu bank semua DNA yang ada di alam.

3.      3.  Manual atau butuh software

Dalam proses desain primer dapat dilakukan seacra manual maupun dengan bantuan software, contohnya software Primer3 atau Primer3Plus, dapat juga dengan Primer blast yang ada di web NCBI.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penggunakan software Primer3 atau Primer3Plus yang tidak berbayar ini adalah presentas GC harus 40-60% dengan harapan primer terikat ukat, lalu jika jumlah basa gen referensi missal 784 basa maka diambil atau desain primer dapat dimulai 200 basa awal dan 200 basa akhir tambahan. Jadi tidak tepat 784 sama. Meski demikian harus dipastikan bahwa presentase forward/reverse harus sama.

Bahasan selanjutnya adalah Menguji Spesifitas Primer

Menggunakan menu BLAST (blastn) di NCBI, menu ini juga memungkinkan untuk menguji primer yang didesain sendiri. Nah alasan primer harus diuji karena:

   RT-PCR hanya mengamplifikasi daerah yang diinginkan.

Jika DNA host lebih banyak dapat menempel di 18 nukleotida primer dipastikan menempel di materi yang diinginkan atau tidak (Primer diperhatikan menempel di basa nomor berapa sampai berapa). Beberapa jenis teknik uji spesifitas yaitu

·         Nucleotide blast -> dicek satu per satu forward/reverse

·         Blastx -> translate nucleotide-> protein

·         Tblastn

 

Pada kolom pengisian ada hal yang harus diperhatikan yaitu jiak spesifiaksi DNA maka ditulis nr dan jika RNA ditulis refseqmRNA.

Prof. Rini menambahkan bahwa desain primer ini dalam bidang genetika termasuk suatu kebaruan dan dapat dipatenkan. Hasil setelah uji spesifitas primer ternyata memiliki kesamaan dengan DNA organisme lain bahkan sama persis maka primer tersebut tidak spesifik. Hal ini berbahaya karena primer yag didesain berarti menempel pada basa-basa yang lain. Maka hal ini perlu dioptimasi, karena bisa jadi primer tidak spesifik karena proses penempelan juga tidak spesifik antara reverse dan forward dan urutan basa nitrogennya. Jika sekuen primer dianggap spesifik tidak serta merta harus match 100%, bisa saja ada lima basa nitrogen yang berbeda maka dapat diabaikan. Panjang primer kira-kira 18-22 nukleotida sudah dapat mencapai spesifitas. Primer tidak boleh terlalu Panjang agar mudah terikat pada DNA template pada suhu annealingnya.\

(foto ketika sesi denagn Prof. Rini)

Beberapa hal lain yang harus diperhatikan adalah suhu leleh primer yang diartikan sebagai suhu dimana setengah dari duplex DNA terpisah menjadi untai tunggal (mengindikasikan stabilitas duplex. Suhu leleh primer ini baisanya tercapai pada 52-58   ͦC. Selain itu ada juga parameter suhu annealing (sebegai indikasi stabilitas hybrid DNA) yang dapat diatur bertingkat. Pengaturan bertingkat dimaksudkan agar tidak tercapai suhu yang terlalu tinggi karena dapat mengganggu hibridisasi primer menyebabkan template. Kurang baik. Jika suhu terlalu rendah maka produk non-spesifik pun banyak terbentuk sehingga menurunkan spesifitas PCR. Suhu annealing biasanya tercapai 5 °C dibawah suhu leleh. Ketiga adalah GC content yaitu presentase jumlah basa guannin (G) dan cysteine (C) terhadap jumlah basa total pada primer. Keempat adalah GC clamp yaitu aturan untuk menghindari 3 basa G dan C di akhir primer.

Selanjutnya diterangkan tentang struktur sekunder primer yang disebabkan interaksi intramolekuler maupun intermolekuler. Beberapa istilahnya yaitu pertama, hairpins yang disebabkan inetraksi intramolekuler primer membentuk suatu lipatan. Kedua self dimer yang terjadi akrena sesama forward menempel atau sesame reverse menempel. Self dimer terjadi karena menambahkan primer dalam jumlah besar dibandingkan DNA template. Ketiga adalah cross dimer  yang terajdi ketiak forward dan  reverse saling menempel. Dalam desain primer juag harus dihindari keadaan repeats yaitu Ketika ada kesamaan dua basa nitrogen berturut-turut sampai maksimal 4 kali(contoh ATATATAT). Jika lebih dari 4 kali desain primer dapat kurang baik. Lalu keadaan runs perlu dihindari misalnya TACGGGGTA, yakni suatu keadaan perulangan satu basa nitrogen maksimal juga dibatasi 4 kali.

Parameter pasangan primer, yang pertama adalah panjang amplikon (produk PCR) yang ditentukan berdasarkan tujuan eksperimen itu sendiri. Panjang produk dapat ditentukan dari (posisi primer antisense-posisi primer sense)+1. Kedua adalah selisih suhu leleh pasangan primer, yang mana jika selisihnya lebih dari 5 °C maka tidak terjadi amplifikasi. Konsentrasi priemr terbaik yakni 10 pmol (yang sering diminat pabrik) namun hal ini juga dipengaruhi proses pengenceran. Sebagai summary Prof Rini menampilkan kondisi primer yang baik dalam proses PCR, yanagmana dpat menajdi kata kunci pada ketiak ujung 5 tidak menempel maksimal tidak masalah namun tidak boleh terlalu banyak tak menempel, terpenting ujung 3 awal harus menempel tepat dari templatenya.

Topik kedua yakni dasar-dasar RT-PCR diisi oleh dr. Hamim. RT-PCR sebenarnya memiliki dua kepanjangan yakni Reverse Transcriptase Polimerize Chain Reaction (reaksi pengubahan) dan Real-time Polimerize Chain Reaction. Nah yang akan dibahas dalam pelatihan tentu yang kepanjangannya adalah Real Time PCR, untuk membedakannya maka disebut juga qPCR atau quantitative PCR-karena outputnya memang bersifat kuantitatif. Bapak dr. Hamim lebih banyak membahas tentang aplikasi dari RT-PCR atau qPCR salah satunya adalah mengukur ekspresi gen (mRNA). Kelebihan penggunaan RT-PCR diantaranya adalah hasil bersifat kuantitatif, objektif (karena diukur oleh software), spesifik (tidak ada reaksi silang), sensitive (<1ng), dan tidak perlu perlakukan post-PCR. Namun di balik kelebihan pasti ada tantangan tersendiri dalam mengoperasikan instrument ini yaitu, perlu skill tinggi, harga alat mahal, reagen mahal, sangat sensitif dengan kontaminasi, dan perbaikan alat lama. Tahap analisis RT-PCR yaitu, Pertama isolasi RNA maupun miRNA (micro RNA), Kedua, sintesis cDNA (Reverse Transcription PCR). Namun jika sampel sudah dalam bentuk DNA bisa langusng dibuat qPCR nya.


(foto sesi dengan dr. Hamim)

Isolasi RNA menggunakan reagen trizol, yakni campuran guanidine thiocyanate dan phenol yang seaca efektif mampu memisahkan DNA dan RNA setelah homogenisasi jaringan (lisis sel). Lalu ada step penambahan kloroform dan sentrifugasi sehingga membentuk 3 lapisan. Lapisan atas yang jernih adalah lapisan yang mengandung RNA. Isoalsi RNA ini epnting karena RNA bersifat tidak stabil. Kualitas dan kuantitas RNA menentukan tahap reaksi. RNA yang telah diisolasi idelanya disimpan dalam freezer bersuhu -80 °C dan tidak boleh disimpan terlalu lama (segera mungkin dibuat cDNA-nya). Beberapa reagen tambahan untuk isolasi RNA yaitu DEPC (Diethyl pyrocarbonate) fungsinya untuk menginaktivasi enzim RNAase yang terdapat dalam larutan atau alat laboratorium. DEPC bekerja membentuk ikatan kovalen dengan beberapa asam amino (histine yang paling kuat lalu lisin, sistein, dan tirosin). DEPCI treated water diguakan untuk handling RNA di laboratorium untuk mengurangi risiko degradasi RNA oleh RNAase terutama dari tubuh manusia yang mengoperasikan-karena RNA sangat instabil.

Sintesis cDNA merupakan reaksi konversi bukan amplifikasi. Bahan-bahannya yaitu template DNA/miRNA, primer oligo-Dt, random primer 1 arah, dNTP, buffer, dan enzim transcriptase yang diperoleh dari virus. Khusus untuk miRNA belum punya polyethyl atau ekor-AAA sehingga perlu ditambahakan poly(A) polymerase. Semenatra itu, dasar reaksi untuk qPCR adalah penambahan senyawa yang dapat melepaskan fluorescence  apabila berikatan dengan DNA untai ganda double strand DNA binding dye) yang berwarna hijau. Senyawa tambahan tersebut adalah SYBR Green atau Evagreen. Senyawa ini mengemisikan atau melepaskan sinyal fluoresence yang kuat setelah berikatan dengan dsDNA, namun tidak spesifik sehingga semua dsDNA diikat. Oleh karena itu perlu dilakukan optimasi ekstensif yang ditandai dengan munculnya satu peak (melting peak). Amplikon yang lebih panjangn akan menghasilkan sinyal fluorescence yang lebih tinggi. Dalam pemakaian mesin sebenarnya proses amplifikasi tidak perlu lama-lama hal ini berkaitan dengan umur detector, karena sejatinya proses ini sduah dapat dideteksi denagn hitungan puluhan detik. Proses amplifikasi ini disetting oleh peneliti sementara melting analysis dilakukan otomatis oleh mesin.

Dalam penjelasannya dr. Hamim juga menerangkan tentang istilah cycle threshold  (Ct) yaitu suatu siklus pada saat fluoresensi yang dihasilkan melewati ambang batas fluoresen yang ditentukan. Ekspres gen yang baik yakni Ketika nilai Ct kecil. Pada saat Ct diamati lebih baik pada fase eksponensial (2n). Nah dalam proses PCR dikenal fase eksponensial dan nonekspoennsial. Alasan ditemukannay kedua fase ini berkaitan dengan aktivitas Taq polymerase berkurang, jumlah reagen berkurang, dan penurunan kapasitas buffer. Kemudian dibahasa tentang melting curve dan melting peak. Melting curve adalah analisi post PCR untuk mengetahui spesifitas produk PCR (amplikon) berdasarkan karakter leleh. Satu jenis amplikon akan menghaislkan satu jenis kurva leleh dan puncak leleh (melting peak). Peristiwa leleh di sini dimaksudkan bahwa DNA telah terdenaturasi sehingga membentuk DNA untai tunggal, yang tidak mengikat fluoresen sehingga sinyal fluoresen berkurang. Puncak leleh mengindikasikan bahwa setengah produk menjadi single strain sehingga tidak perlu elektroforesis. Pada bagian akhir dr. Hamim menjelaskan tentang internal control yang mana analisis data qPCR dapat dibagi menjadi absolute quantification, relative quantification, dan comparative quantification. Sementara itu syarat internal control yaitu gen dengan jumlah copy number sama di semua sel, gen yang terekpresi di semua sel, dan gen dengan jumlah copy number medium.

Sesi ditutup dengan praktik oleh laboran LPPT yang biasa mengoperasikan RT-PCR yakni dengan Pak Surajiman dan Mbak Puspa Hening, M.Biotech. Peserta dapat melihat bagaimana teknik pengolahan data PCR serta penjelasan mengenai alat-bahan yang digunakan. Akhirnya pelatihan ini selesai tepat pukul 11.00.

 Wassalamualaikum wr.wb 

1 komentar:

  1. IONQQ**COM
    agen terbesar dan terpercaya di indonesia
    segera daftar dan bergabung bersama kami.
    Whatshapp : +85515373217 :-* (f)

    BalasHapus