Sedikit menyesal, itulah yang
sama-sama kami rasakan. Rasanya ada yang kurang dalam diskusi kami tadi, yakni
kesimpulan. Tapi, kami berharap juri sudah dapat mengetahui maksud dan arah
diskusi kami. Lebih-lebih kami berharap, juri mampu mengetahui jalan pikirian
dan pandangan kami ke depan. Untuk melupakan penyesalan kecil kami ketika
diskusi, kami diajak kakak-kakak panitia untuk sharing di kantin Fakultas Psikologi. Saat itu kami ditemani Kak
Mila dan Kak Dito. Mereka adalah kakak-kakak volunteering AFS/YES. Kak Mila adalah returnee YES tahun 2012 sedangkan Kak Dito kandidat Nasional YES
tahun 2013. Berdasarkan cerita mereka ketika seleksi maupun ketika di negara
tujuan, saya merasa bahwa untuk program seleksi AFS memliki peluang yang lebih
kecil dari YES. Hal ini disebabkan program AFS diperuntukkan kepada banyak
Negara. Sedangkan YES khusus negara yang
penduduknya mayoritas muslim. Selain itu dari kepengurusan AFS kurang diurus
lebih rapi dibanding YES. Kemudian, karena AFS merupakan beasiswa parsial, maka
jumlah yang diberikan disesuiakan dengan pendapatan per kapita tiap negara.
Bagi negara yang pendapatan per kapita sedikit, otomatis beasiswa yang
dikeluarkan untuk tiap orang lebih banyak dan itu berarti jumlah kuota yang
mendapatkan beasiswa hanya sedikit, karena tiap kuota sudah dibiayai banyak.
Sembari mengobrol, akhirnya tim
lain berdatangan. Ketika tim lain berdatangan suasana semakin ramai. Kamipun
menjadi semakin akrab, kami sudah merasa layakanya teman sekelas sendiri. Meski
kami berasal dari berbagai sekolah dan daerah. Saya bertemu dengan sosok kritis
yang sangat percaya diri, Ghazi adalah panggilannya. Ghazi berasal dari SMA
Negeri 8 Yogyakarta. Perkenalan kami dimulai dari ceritanya tentang suasana
diskusi timnya kemudian berlanjut dengan bermain bersama “permainan tangan”.
Menurutku, Ghazi adalah sosok yang “easy
going” dia mudah berbaur dan
berteman dengan siapa saja. Ketika mengobrol dengan saya, dia langsung
“nyambung “ dengan ucapan saya dan cepat merasa akrab. Ghazi juga menjadi
anggota baru tim 1 untuk seleksi sesi berikutnya.
Ya, akhirnya sesi kedua yang
menjadi sesi terakhir seleksi tahap 3 segera dimulai. Semua peserta penasaran
dengan macam tes yang akan diberikan. Meski demikian, kami tetap berusaha
menjaga spirit dan mental di tengah-tengah hawa panas yang
menyelubungi suasana saat itu. Bahkan, buruknya cuaca dan sibuknya pikiran kami
dengan mempersiapkan UKK (Ujian Kenaikan Kelas) juga membuat ada beberapa
peserta merasa kurang fit sehingga diperlukan penangan khusus. Mereka
diberi kesempatan dahulu untuk mengikuti sesi 2. Ruang pelaksanaan sesi 2 sama dengan ruang
untuk diskusi kelompok, sesi sebelumnya.
Saya, Innaz, Ken, Nica, Haryo, dan
ADB masih satu tim ditambah dengan Ghazi, Titis, dan Sarah. Kami menuju gedung yang sudah
ditunjukkan setelah teman-teman yang sakit selesai melaksanakan sesi 2.
Perasaan kami saat itu dibawa enjoy saja. Jadi, kami sama-sama tidak merasa beban,
pokoknya pikiran kami dibawa santai selayaknya orang yang telah yakin dan siap
menghadapi UN. Suara gaduh dan riuh -tepuk tangan menyambut langkah-langkah
kami memasuki ruangan. Meski ruangannya sama dengan yang tadi, tetapi saya
merasa ada suasana beda di sesi ini. Semua menyambut kami dengan suka cita
layaknya kami yang menjadi superstar saat
itu.
Kami sedikit terheran dengan
sikap para dewan juri dan para audiens. Tak lama kemudian, seorang kakak
menyambut kami dengan berbahasa Jepang. Total, saya sama sekali belum paham,
saya hanya bisa menikmati logat Jepangnya yang sangat fasih. Senyum kami
terkembang dan semakin terkembang lagi, ketika kakak panitia yang lain
memberikan translate ucapan pengatar yang berbahasa Jepang tadi. Kami cukup excited dengan maksud panitia yang mengibaratkan kami
layaknya duta besar Indonesia
yang baru tiba di bandara Internasional di Jepang. Kami saat itu memang
diposisikan menjadi duta besar yang siap untuk diwawancari oleh berbagai
wartawan dari belahan dunia terkait kasus-kasus yang sedang terjadi di Indonesia .
Konferensi pers tersebut dibuka
dengan pertanyaan dari juri yang mengaku sebagai wartawan Washington Post. Juri lelaki tersebut melontari
kami pertanyaan terkait kasus perusakan tempat ibadah di salah satu wilayah di
DIY. Saya mengaku belum mendengar berita tersebut dengan jelas. Saat itu
masing-masing dari kami dimintai pendapatnya dan bagaimana seharusnya. Setiap
salah seorang diantara kami berbicara maka pertanyaan dari dewan juri lain
semakin bertubi-tubi dilontarkan. Mereka seakan tak puas dengan jawaban kami.
Suasana semakin memanas, dewan
juri menanyai kami dengan mimik muka tak meyakinkan. Hal tersebut membuat kami
sedikit down. Bahkan Nica sempat
dimarahi salah seorang dewan juri lantaran tidak serius dalam menjawab pertanyaan.
Saya ikut serta memberikan pendapat, meskipun pendapat saya semakin dicerca
dengan berbagai pertanyaan. Kemudian, karena jawaban tak kunjung pasti ,oleh
moderator, kami langsung disambut topik kedua. Topik kedua berkaiatan tentang
UN. Saya ingin berpendapat panjang, namun agaknya saya merasa suasana telah
didominasi oleh Haryo dan Ghazi. Duo lelaki yang ada di tim kami memang
memiliki suara keras dan lantang sehingga mudah sekali untuk mengambil
kesempatan berbicara.
Saya sedikit bingung dengan arah pembicaraan yang
semakin dibuat sempit oleh waktu. Dewan juri seakan tidak mau membuang waktu
banyak untuk mendengar pendapat kami. Mereka sangat berbuat sinis sekali saat
itu kepada kami. Namun, meski demikian saya tetap berusaha kontrol emosi dan
mental. Saya tetap usahakan untuk berpendapat dengan baik dan sopan. Bahkan karena
pembicaraan didominasi oleh Haryo dan Ghazi saya sempat mengangkat tangan
hingga lama, kemudian akhirnya saya dipersilakan berbicara dahulu. Berkebalikan
dengan saya, Haryo, dan Ghazi yang terlihat semnagat dan ingin sekali
berpendapat, ada beberapa teman yang diam sama sekali tak bersua. Saya tak
paham maksud mereka, apakah mereka ambil aman untuk tidak dicerca atau mereka
tidak maksud dengan topik bahasan. Mereka sampai disindir oleh beberapa juri
dan akhirnya dipaksa untuk berbicara.
Topik ketiga tak sangka langsung
dibuka moderator tentang Menteri Agama Indonesia yang terlibat kasus
korupsi. Menurut saya itu adalah topik yang sedang highlight belakangan ini. Saya bersyukur bisa berpendapat dengan
baik dan tidak diikuti hamparan pertanyaan lagi. Saya berharap pendapat
terakhir yang sekaligus menjadi penutup” konferensi pers “ untuk sesi 2 seleksi
tahap 3 AFS-YES bisa menjadi penilaian baik bagi dewan juri. Akhirnya kami
telah selesai melewati sesi kedua yang sangat unexceptional bagi kami.
Dewan juri berbalik muka dan menjadi hangat ketika menutup acara sesi ini.
Mereka rupanya sedang berakting ketika kami dihantam berbagai pertanyaan tadi. Semua peserta tim 1 keluar dari ruangan dengan
berbagai macam mimik. Masing-masing diantara mereka ada yang merasa meyesal
kurang bisa berpendapat, ada yang puas, ada yang sebal dengan pertanyaan juri
dan ada yang hanya bisa pasrah. Namun yang pasti, semua peserta memiliki
harapan yang sama agar bisa lolos dan maju menjadi kandidat nasional, menatap
kegiatan AFS-YES selanjutnya hingga bertualangan ke negeri tujuan.
Kak beasiswa untuk yg AFS kan bukan beasiswa penuh, nah beasiswanya itu ngekafer apa aja?
BalasHapusbiaya hidup selama di sana saja, untuk visa dan tiket perjalanan biaya sendiri.kalau terpaksa benar2 tidak mampu, dari yba mungkin bisa mencarikan donatur.
HapusMaaf sangat terlambat menjawabnya
Kak untuk tempat tes tahap 1 sampai 3 itu tiap daerah beda beda atau seluruh indonesia sama
BalasHapus@Dery DP iya, tiap daerah berbeda-beda.
HapusHalo salam kenal. Saya Nela, kebetulan lagi nulis naskah komik tentang pertukaran pelajar ke luar negeri. Saya baca tulisannya berhenti di sini ya? Jadinya Mbak lolos nggak ya? Saya ingin sharing pengalaman ini kalau boleh untuk kebutuhan referensi. Atau bisa email ke nelafayza388@gmail.com Terima kasih
BalasHapusWah,maaf baru buka blog lagi ini..ok bisa emailan aja ya kita hehe
BalasHapusOh ya jangan lupa follow blog kakak ya Terimakasih :)
BalasHapus