CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Kamis, 26 Juni 2014

JERIT MALAM - Part 1

      Pengalaman berkesan waktu kemah kemaren, yaitu waktu kegiatan jerit malam. Acara jerit malam dimulai pukul 20.00 WIB, belum terlalu malam bagi kami semua satu sangga. Kebetulan karena barisan kami termasuk barisan depan, sehingga kami diberangkatkan dahulu oleh kakak-kakak DA (Dewan Ambalan). Perjalanan dimulai dengan menyusuri hutan di belakang bumi perkemahan. Pada menit-menit awal keberangkatan kami masih sempat disapa kakak-kakak DA yang meberikan kami say good bye, see you, dan be careful. Kemudian ada juga dari pihak guru dan kameramen yang melepas kepergian kami.
      Kami mulai sedikit panik, ketika jalanan yang kami lewati mulai menanjak. Suasana mulai gelap dan cahaya dari bumi perkemahan mulai tak terlihat. Kami sudah di tengah hutan. Mati kami kosong dan tabu. Hanya 3 senter yang kami boleh kami nyalakan ketika jerit malam ini. Kami terus konestrasi dengan medan yang kami lewati, serta teliti mencari petunjuk arah. Sebelumnya kakak DA, telah mberiathukan bahwa penunjuk arah uatama ada 3. Yaitu segitiga merah berarti belok kanan, segitiga kuning berari lurus, dan segitiga biru berarti belok kiri. Sekitar 70 meter awal kami menyusuri hutan, belum ada tanda-tanda yang kami dapat. Suara Qs. Al Fatihah, Qs. An-Naas, dan Qs. Al Falaq terus kami dengungkan untuk keselamatan diri kami dan memperkuat keberanian kami saat itu.
       Tanda awal yang kami temukan adalah segitiga merah di persilangn jalan simpang lima. Persilangan jalan itu cukup aneh karena ada 3 lajur atau 3 jalan ada di sebelah utara dengan sudut serong yang saling berimpitan. Ketika menemukan tanda segitga merah tersebut, pada awalnya aku sudah mengarah ke simpang ketiga yang merupakan jalur ketiga dari 3 lajur yang saling berdekatan tersebut. Menurutku jalur tersebut sudah terhitung belok kanan, karena dari pohon yang ditempel tanda segitiga merah ada di pertengahan antara 3 lajur yang berdekatan tersebut. Tapi, beberapa teman menganggap bahwa belokan ke arah kanan ada pada beberapa meter dari pohon yang memang sudutnya lebih terlihat membelok.
       Suasana mulai memanas, kebingungan,  dan khawatir mulai memuncak. Aku sebagai pimpinan sangga tidak langsung memaksa kehendak dan secara aklamasi memutuskan untuk belok ke lajur pilihaku itu. Aku menyarankan untuk mundur pada posisi awal dimana terdapat belokan kanan yang sedari tadi dianggap teman-teman sebagai belokan kanan yang tepat. Kembali ke posisi awal itu, semakin mencakam bagi kami. Cahaya-cahaya silau entah dari sumber apa, kilatan, dan suara aneh mulai menjadi-jadi. Hingga akhirnya kami memutuskan bersma untuk berbelok pada yang sudah kusarankan tadi. Kami semakin yakin dengan jalan yang kami pilih ketika dari sayup-sayup kami mendengar suara kakak DA yang sudah tak asing di telinga kami. Mereka menunggu kedatangan kami di pos 1.  
      Perjalanan mulai terasa lebih menantang, ketika kami mulai memasuki pos kedua. Jalanan menikung mulai banyak kami lalui, bahkan ada juga jalan yang sengat sempit bagi kami sehingga langkah kami benar-benar terhambat. Dalam perjalanan menuju pos 2, nyali kami sebenarnya belum kuat. Meski kami, juga sempat melewati beberapa rumah warga, tetapi kami juga lebih banyak mendengar embikan kambing, lolongan anjing, dan hawa dingin menyeramkan. Sehingga tanda-tanda aman yang kami lihat rupanya masih kalah dengan suasana yang kami rasa saat itu. Dingin, gelap, cahaya silau, semak-semak yang bergerak, dan suara-suara aneh yang entah darimana asalnya.

     Sampai di pos 2, kami hanya diperbolehkan menggunakan satu senter. Tak lama kemudian, senter tersebut juga diperintahkan untuk dimatikan. Ditambah lagi, kami harus menutup mata dengan slayer. Entah apa sebenarnya kegiatan di pos ini. Namun, yang aku rasakan waktu tu, sebagai orang yang di baris paling belakang hanya diperintahkan mengikuti suara kakak DA, diperintahkan jalan di lajur yang naik turun, berbatu, menakutkan, dan tak jelas arahnya. Terakhir aku diperintahkan mengambil benda keras pada kumpulan lumpur dan bahan-bahan lunak yang entah apa isinya. Sementara teman-teman satu sanggaku yang lain terpisah dari ku. Mereka kedengarannya juga diperintahkan mengambil barang-barang aneh dari kumpulan benda yang tak jelas. Selain itu, aku jug amendengar hardikan dan sindiran kakak-kakak DA kepada teman-temanku, dan tentunya saja juga mengenaiku.
      Perjalanan mulai berlanjut dengan hanya diperbolehkan menyalakan satu senter juga. Mengikuti jalur dan petunjuk sudah kami laksanakan. Hingga akhirnya, pada perempatan kami sama sekali belum menemukan tanda segitiga. Seluruh pepohonan sudah kami telusuri satu per satu. Kami bingung saat itu, jalur mana yang harus kami pilih. Semua jalur terlihat gelap, bahkan di persimpangan itu juga tidak ditemukan lampu. Tanda terakhir yang kami dapatkan adalah segitiga kuning yang berarti lurus. Tetapi, kami masih ragu jika harus memilih lurus. Pasanya biasanya pada persimpangan, kami juga menemukan tanda baru. Namun, kali itu tanda segitiga dapat kami temukan.
    Kami mencoba tetap beralan lurus, yang artinya kami menyebrangi simpangan tersebut. Namun, sebenarnya hati kami masih terasa mengganjal. Kami masih bingung  harus memilih yang mana. Kami, menghentikan langkah di awal jalan lurus yang kami pilih. Kami memutuskan untuk beristirahat sebentar sambil tetap mencari tanda. Belum sempat kami temukan, sudah ada sangga lain yang sampai juga pada persimpangan tersebut. Rupanya, mereka juga masih belum mendapatkan tanda petunjuk segitiga tersebut.       Akhirnya secara tidak langsung, kami mendekati mereka dan mencoba mencari bersama. Meski akhirnya, pencarian tetap saja nihil. Tak lama kemudian, dua orang kakak DA, tiba menghampiri kami. Mereka memang tidak serta merta memberi petunjuk kami, melainkan menyerukan kepada kami tentang hal-hal menakutkan dan ketidak jelian kami mencari. Bagiku, itu sedikit menyebalkan karena menurutku itu semakin membuat kami berkurang konsentrasi dan terasa terburu mencari-cari petunjuk. Sekitar lima menit kami mencari, akhirnya kami menemukan tanda segitiga merah, yang artinya kami harus belok ke arah kanan.
     Di pos 3, lidah kami diuji. Meski hanya tiga percobaan. Namun, pada percobaan garam sontak kami semua memuntahkannya. Setelah di pos 3, perjalanan dilanjutkan menyusuri jalan yang menurun. Namun, kelebihannya jalannya itu sudah beraspal dan cukup lebar. Akhrinya kami bisa berjalan santai dan tidaj terlalu khawatir dengan medan. Kami juga melewati jalan yang menikung dan kebun bambu yang sunyi senyap. Angin kencang yang berhembus membuat gesekan antara daun-daun bambu terdengar lebih jelas dan hal tersebut semakin melengkapi suasana malam.

     Setelah sampai di pos empat , mata kami ditutup kembali. Semua begitu terasa tak pasti ketika kami hanya diperintahkan untuk duduk entah dlam maksud apa, menunggu sangga lain berdatangan. Kemudian, hanya dengan bermodalkan kepekaan telinga sajalah kami dapat melanjutkan perjalanan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar