Pengalaman berkesan waktu kemah
kemaren, yaitu waktu kegiatan jerit malam. Acara jerit malam dimulai pukul
20.00 WIB, belum terlalu malam bagi kami semua satu sangga. Kebetulan karena
barisan kami termasuk barisan depan, sehingga kami diberangkatkan dahulu oleh
kakak-kakak DA (Dewan Ambalan). Perjalanan dimulai dengan menyusuri hutan di
belakang bumi perkemahan. Pada menit-menit awal keberangkatan kami masih sempat
disapa kakak-kakak DA yang meberikan kami say
good bye, see you, dan be careful.
Kemudian ada juga dari pihak guru dan kameramen yang melepas kepergian kami.
Kami mulai sedikit panik, ketika
jalanan yang kami lewati mulai menanjak. Suasana mulai gelap dan cahaya dari
bumi perkemahan mulai tak terlihat. Kami sudah di tengah hutan. Mati kami kosong
dan tabu. Hanya 3 senter yang kami boleh kami nyalakan ketika jerit malam ini.
Kami terus konestrasi dengan medan yang kami lewati, serta teliti mencari
petunjuk arah. Sebelumnya kakak DA, telah mberiathukan bahwa penunjuk arah
uatama ada 3. Yaitu segitiga merah berarti belok kanan, segitiga kuning berari
lurus, dan segitiga biru berarti belok kiri. Sekitar 70 meter awal kami
menyusuri hutan, belum ada tanda-tanda yang kami dapat. Suara Qs. Al Fatihah,
Qs. An-Naas, dan Qs. Al Falaq terus kami dengungkan untuk keselamatan diri kami
dan memperkuat keberanian kami saat itu.
Tanda awal yang kami temukan
adalah segitiga merah di persilangn jalan simpang lima. Persilangan jalan itu
cukup aneh karena ada 3 lajur atau 3 jalan ada di sebelah utara dengan sudut
serong yang saling berimpitan. Ketika menemukan tanda segitga merah tersebut,
pada awalnya aku sudah mengarah ke simpang ketiga yang merupakan jalur ketiga
dari 3 lajur yang saling berdekatan tersebut. Menurutku jalur tersebut sudah
terhitung belok kanan, karena dari pohon yang ditempel tanda segitiga merah ada
di pertengahan antara 3 lajur yang berdekatan tersebut. Tapi, beberapa teman menganggap
bahwa belokan ke arah kanan ada pada beberapa meter dari pohon yang memang
sudutnya lebih terlihat membelok.
Suasana mulai memanas,
kebingungan, dan khawatir mulai
memuncak. Aku sebagai pimpinan sangga tidak langsung memaksa kehendak dan
secara aklamasi memutuskan untuk belok ke lajur pilihaku itu. Aku menyarankan
untuk mundur pada posisi awal dimana terdapat belokan kanan yang sedari tadi
dianggap teman-teman sebagai belokan kanan yang tepat. Kembali ke posisi awal
itu, semakin mencakam bagi kami. Cahaya-cahaya silau entah dari sumber apa,
kilatan, dan suara aneh mulai menjadi-jadi. Hingga akhirnya kami memutuskan bersma
untuk berbelok pada yang sudah kusarankan tadi. Kami semakin yakin dengan jalan
yang kami pilih ketika dari sayup-sayup kami mendengar suara kakak DA yang
sudah tak asing di telinga kami. Mereka menunggu kedatangan kami di pos 1.
Perjalanan mulai terasa lebih
menantang, ketika kami mulai memasuki pos kedua. Jalanan menikung mulai banyak
kami lalui, bahkan ada juga jalan yang sengat sempit bagi kami sehingga langkah
kami benar-benar terhambat. Dalam perjalanan menuju pos 2, nyali kami
sebenarnya belum kuat. Meski kami, juga sempat melewati beberapa rumah warga,
tetapi kami juga lebih banyak mendengar embikan kambing, lolongan anjing, dan
hawa dingin menyeramkan. Sehingga tanda-tanda aman yang kami lihat rupanya
masih kalah dengan suasana yang kami rasa saat itu. Dingin, gelap, cahaya
silau, semak-semak yang bergerak, dan suara-suara aneh yang entah darimana
asalnya.
Perjalanan mulai berlanjut dengan
hanya diperbolehkan menyalakan satu senter juga. Mengikuti jalur dan petunjuk
sudah kami laksanakan. Hingga akhirnya, pada perempatan kami sama sekali belum
menemukan tanda segitiga. Seluruh pepohonan sudah kami telusuri satu per satu. Kami
bingung saat itu, jalur mana yang harus kami pilih. Semua jalur terlihat gelap,
bahkan di persimpangan itu juga tidak ditemukan lampu. Tanda terakhir yang kami
dapatkan adalah segitiga kuning yang berarti lurus. Tetapi, kami masih ragu
jika harus memilih lurus. Pasanya biasanya pada persimpangan, kami juga
menemukan tanda baru. Namun, kali itu tanda segitiga dapat kami temukan.
Kami mencoba tetap beralan lurus,
yang artinya kami menyebrangi simpangan tersebut. Namun, sebenarnya hati kami
masih terasa mengganjal. Kami masih bingung harus memilih yang mana. Kami, menghentikan
langkah di awal jalan lurus yang kami pilih. Kami memutuskan untuk beristirahat
sebentar sambil tetap mencari tanda. Belum sempat kami temukan, sudah ada
sangga lain yang sampai juga pada persimpangan tersebut. Rupanya, mereka juga
masih belum mendapatkan tanda petunjuk segitiga tersebut. Akhirnya secara tidak
langsung, kami mendekati mereka dan mencoba mencari bersama. Meski akhirnya,
pencarian tetap saja nihil. Tak lama kemudian, dua orang kakak DA, tiba
menghampiri kami. Mereka memang tidak serta merta memberi petunjuk kami,
melainkan menyerukan kepada kami tentang hal-hal menakutkan dan ketidak jelian
kami mencari. Bagiku, itu sedikit menyebalkan karena menurutku itu semakin
membuat kami berkurang konsentrasi dan terasa terburu mencari-cari petunjuk. Sekitar
lima menit kami mencari, akhirnya kami menemukan tanda segitiga merah, yang
artinya kami harus belok ke arah kanan.
Di pos 3, lidah kami diuji. Meski
hanya tiga percobaan. Namun, pada percobaan garam sontak kami semua
memuntahkannya. Setelah di pos 3, perjalanan dilanjutkan menyusuri jalan yang
menurun. Namun, kelebihannya jalannya itu sudah beraspal dan cukup lebar.
Akhrinya kami bisa berjalan santai dan tidaj terlalu khawatir dengan medan. Kami
juga melewati jalan yang menikung dan kebun bambu yang sunyi senyap. Angin kencang
yang berhembus membuat gesekan antara daun-daun bambu terdengar lebih jelas dan
hal tersebut semakin melengkapi suasana malam.
Setelah sampai di pos empat ,
mata kami ditutup kembali. Semua begitu terasa tak pasti ketika kami hanya
diperintahkan untuk duduk entah dlam maksud apa, menunggu sangga lain
berdatangan. Kemudian, hanya dengan bermodalkan kepekaan telinga sajalah kami
dapat melanjutkan perjalanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar