CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Jumat, 27 Juni 2014

JERIT MALAM - Part 2

      Mata sudah tertutup sekitar 15 menit. Belum ada tanda-tanda untuk terbuka, juga belum ada tanda-tanda untuk melanjutkan perjalanan. Kami hanya bisa mengisi waktu malam yang semakin larut itu dengan mengobrol dan beristirahat. Aku sempat tertidur, karena kurasa badan sudah tak tahan menopang kelelahan dan rasa kantuk. Kaki semakin pegal, berkali-kali kuluruskan kakiku ini, lalu kulipat kembali.
      Setelah beradaptasi dengan keadaan sekitar dan suara teman-teman yang tak jelas. Akhirnya aku sudah bisa mengenali orang-orang di sekitarku. Di samping kananku ada Yovita pimpinan Sangga Wardah Hafidz. Sementara di sebelah kiriku ada Safira, pimpinan sangga R.A Kartini. Kami saling berpegang tangan, tanda bahwa kami saling berdekatan. Shafira sempat bercerita padaku bahwa salah satu anggota sangganya hilang dari barisan. Aku terkaget dan semakin takut dengan keadaan ini. Serta merta, setelah Safira menceritakan hal itu padaku, aku segera meneliti anggota sanggaku. Syukurlah, anggota sanggaku masih lengkap berjumlah 7 orang.
     Namun, teka-teki hilangnya Aurel (anggota sangganya yang hilang) masih saja berada di benak ini. Safira mengatakan bahwa  ketika sangganya diperintahkan untuk duduk pada pos empat, Shafira masih mendengar suara Aurel. Namun, beberapa menit kemudian ketika Safira mengajak anggotanya untuk mengobrol bersama, dia tidak mendapati suara Aurel lagi. Safira juga tidak mendengar tanda-tanda kepergian Aurel seperti suara langkah kaki, ada orang yang mengikuti, dan sebagainya. Safira sangat khawatir dengan Aurel. Dirinya takut Aurel akan dibawa kemana karena terpisah dari sangganya. Selain itu, Safira juga takut jika dihukum karena tidak dapat menjaga anggota sangganya.
     Kubantu Safira, dengan berteriak kecil memanggil Aurel. Namun, tidak ada jawaban. Entah karena Aurel tak mendengar, Aurel tak ada di tempat, atau karena Aurel memang diperintahkan untuk tidak boleh menjawab. Beberapa kali aku memanggil Aurel dalam tempo waktu yang berbeda. Tetapi sama saja, belum ada jawaban Aurel kudengar. Rupanya teriakanku dan candaan teman-teman yang lain sudah terlalu berisik. Sehingga akhhirnya kami ditegur oleh Kakak Pembina.
   Teguran dari kakak Pembina menandai kelanjutan acara jerit malam ini. Kami diperintahkan untuk kembali berdiri dan berbaris. Namun, dengan posisi mata masih tertutup slayer. Kemudian, kakak Pembina menggabungkan 2 sangga menjadi satu barisan. Sanggaku bergabung dengan sangga Shafira. Aku menyambung barisan dengan memegang pundak anggota sangga Safira yang paling belakang. Setelah semua anggota bersiap saling berpegang erat pundak teman di depannya, perjalanan pun berlanjut.


   Aku mendengar bahwa barisan kami diperintahkan untuk berjalan mengikuti suara tertentu. Salah satu     Kakak DA, mulai membunyikan suara tersebut. Kami diperintahkan untuk mampu memfamiliarkan suara asing tersebut yang akan menjadi petunjuk langkah kami. Rupanya memfamiliarkan suara yang ditentukan itu tidak begitu mudah. Pasalnya di sekitar kami juga terdengar suara-suara lain yang mirip dengan suara petunjuk kami. Kurasa hal tersebut dibuat sengaja agar kami bisa peka dan mampu membedakan suara yang dimaksud.
   Perjalanan dimulai, Safira sebagai barisan terdepan sudah tentu menjadi nahkoda arah bagi kami, teman-teman di belakangnya. Sehingga mau tak mau, salah atau tidak sesuai pendegaran kami, aku dan teman-teman satu sangga yang juga berada di barIsan Safira tetap harus mengikuti arah langkah Safira. Di awal-awal perjalanan, aku masih bisa membedakan suara khusus yang menjadi petunjuk tersebut. Namun, lambat laun suara-suara lain mulai bergabung, sehingga aku menjadi sulit membedakan. Akhirnya aku memang pasrah dan percaya untuk mengikuti arah langkah Safira.
    Jongkok, lari, meraba medan itulah yang kami lakukan ketika melakukan perjalanan dengan petunjuk suara tersebut. Secara refleks kami pasti tidak mau akan terjadi hal-hal buruk. Sehingga kami tetap harus berjalan dnegan hati-hati dan konsentrasi. Jalanan terasa terjal, naik, menurun, dan licin. Semua itu menjadi hal yang perlu diperhatikan. Kaki kami serasa menjadi peraba bagi medan jalanan yang kami tempuh.
Tiba-tiba, aku sekaan tertarik dan tanganku hampir terlepas dari pegangan anggota sangga Safira yang paling belakang, yakni Anggun. Aku sedikit khawatir. Aku berusaha untuk tetap mengejar pundak Anggun.                  Namun, aku tetap memikirkan medan agar tidak jatuh. Anggota sanggaku yang lain sempat protes dengan ulahku yang secara tak langsung mengajak mereka untuk berlari. Aku berusaha menenagkan mereka, dan menyampaikan bahwa ulahku ini berasal dari barisan depan yang juga cepat berpindah. Komando dari depan juga menjelaskan bahwa barisan belakang diperintahkan untuk menyesuaikan barisan depna agar tidak tertinggal .
     Cukup lama kami dibawa lari, berhenti, kemudian lari kembali, berjalan meliuk-liuk seolah ada kami melewati tebing yang sempit. Kami hanya berusaha mengikuti instruksi dari Kakak DA. Kami tidak memikirkan apakah itu sungguhan atau hanya rekayasa. Terpenting kami selamat dengan menuruti perintah tersebut. Kami hanya bisa pasrah dan berdoa kepa Allah agar kami tetap diberi kekuatan dan berhasil melewati perjalanan ini.
      Tiba-tiba tanganku dari peganagan pundak Anggun dilepas oleh Kakak DA. Aku ditarik menuju tempat lain yang kurasa berdekatan dnegan barisan sangga Safira. Kurasa aku diperintahkan untuk membuat barisan baru satu sangga. Tak berapa lama, setelah aku ditarik Kakak DA untuk membuat barisan baru. Kami diperintahkan untuk duduk. Kemudian, saat yang dinanti-nanti, kami diperbolehkan melepas ikatan slayer yang sedari tadi menutupi mata kami. Kelegaan mulai terasa, rasa syukur kupanjatkan, karena akhirnya aku dan teman-teman berhasil melewati tantangan yang panjang ini dengan baik.
     Setelah membuka mata, kulihat jam tanganku. Aku terkaget setengah tak percaya, bahwa jarum  jam sudah menunjukkan pukul 00.30 WIB. Aku tak menyangkan perjalanan ini ternyata begitu panjang dan lama. Teman-temanku yang lain juga menunjukkan reaksi yang sama ketiak mereka mengetahui bahwa waktu itu sudah begitu alrut. Kami semua terasa lemas, bahkan ada yang tertidur. Kami merasa kesal karena belum diperbolehkan pulang ke tenda untuk beristirahat. Akhirnya baru pada pukul 01.30 acara jerit malam benar-benar resmi ditutup dengan didahului oleh renungan singkat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar