Mata sudah tertutup sekitar 15
menit. Belum ada tanda-tanda untuk terbuka, juga belum ada tanda-tanda untuk
melanjutkan perjalanan. Kami hanya bisa mengisi waktu malam yang semakin larut
itu dengan mengobrol dan beristirahat. Aku sempat tertidur, karena kurasa badan
sudah tak tahan menopang kelelahan dan rasa kantuk. Kaki semakin pegal, berkali-kali
kuluruskan kakiku ini, lalu kulipat kembali.
Setelah beradaptasi dengan
keadaan sekitar dan suara teman-teman yang tak jelas. Akhirnya aku sudah bisa
mengenali orang-orang di sekitarku. Di samping kananku ada Yovita pimpinan
Sangga Wardah Hafidz. Sementara di sebelah kiriku ada Safira, pimpinan sangga
R.A Kartini. Kami saling berpegang tangan, tanda bahwa kami saling berdekatan.
Shafira sempat bercerita padaku bahwa salah satu anggota sangganya hilang dari
barisan. Aku terkaget dan semakin takut dengan keadaan ini. Serta merta, setelah
Safira menceritakan hal itu padaku, aku segera meneliti anggota sanggaku.
Syukurlah, anggota sanggaku masih lengkap berjumlah 7 orang.
Namun, teka-teki hilangnya Aurel
(anggota sangganya yang hilang) masih saja berada di benak ini. Safira
mengatakan bahwa ketika sangganya
diperintahkan untuk duduk pada pos empat, Shafira masih mendengar suara Aurel.
Namun, beberapa menit kemudian ketika Safira mengajak anggotanya untuk
mengobrol bersama, dia tidak mendapati suara Aurel lagi. Safira juga tidak
mendengar tanda-tanda kepergian Aurel seperti suara langkah kaki, ada orang yang
mengikuti, dan sebagainya. Safira sangat khawatir dengan Aurel. Dirinya takut
Aurel akan dibawa kemana karena terpisah dari sangganya. Selain itu, Safira
juga takut jika dihukum karena tidak dapat menjaga anggota sangganya.
Kubantu Safira, dengan berteriak
kecil memanggil Aurel. Namun, tidak ada jawaban. Entah karena Aurel tak
mendengar, Aurel tak ada di tempat, atau karena Aurel memang diperintahkan
untuk tidak boleh menjawab. Beberapa kali aku memanggil Aurel dalam tempo waktu
yang berbeda. Tetapi sama saja, belum ada jawaban Aurel kudengar. Rupanya
teriakanku dan candaan teman-teman yang lain sudah terlalu berisik. Sehingga akhhirnya
kami ditegur oleh Kakak Pembina.
Teguran dari kakak Pembina
menandai kelanjutan acara jerit malam ini. Kami diperintahkan untuk kembali
berdiri dan berbaris. Namun, dengan posisi mata masih tertutup slayer. Kemudian,
kakak Pembina menggabungkan 2 sangga menjadi satu barisan. Sanggaku bergabung
dengan sangga Shafira. Aku menyambung barisan dengan memegang pundak anggota
sangga Safira yang paling belakang. Setelah semua anggota bersiap saling
berpegang erat pundak teman di depannya, perjalanan pun berlanjut.
Aku mendengar bahwa barisan kami diperintahkan untuk berjalan mengikuti suara tertentu. Salah satu Kakak DA, mulai membunyikan suara tersebut. Kami diperintahkan untuk mampu memfamiliarkan suara asing tersebut yang akan menjadi petunjuk langkah kami. Rupanya memfamiliarkan suara yang ditentukan itu tidak begitu mudah. Pasalnya di sekitar kami juga terdengar suara-suara lain yang mirip dengan suara petunjuk kami. Kurasa hal tersebut dibuat sengaja agar kami bisa peka dan mampu membedakan suara yang dimaksud.
Aku mendengar bahwa barisan kami diperintahkan untuk berjalan mengikuti suara tertentu. Salah satu Kakak DA, mulai membunyikan suara tersebut. Kami diperintahkan untuk mampu memfamiliarkan suara asing tersebut yang akan menjadi petunjuk langkah kami. Rupanya memfamiliarkan suara yang ditentukan itu tidak begitu mudah. Pasalnya di sekitar kami juga terdengar suara-suara lain yang mirip dengan suara petunjuk kami. Kurasa hal tersebut dibuat sengaja agar kami bisa peka dan mampu membedakan suara yang dimaksud.
Perjalanan dimulai, Safira sebagai
barisan terdepan sudah tentu menjadi nahkoda arah bagi kami, teman-teman di
belakangnya. Sehingga mau tak mau, salah atau tidak sesuai pendegaran kami, aku
dan teman-teman satu sangga yang juga berada di barIsan Safira tetap harus
mengikuti arah langkah Safira. Di awal-awal perjalanan, aku masih bisa
membedakan suara khusus yang menjadi petunjuk tersebut. Namun, lambat laun
suara-suara lain mulai bergabung, sehingga aku menjadi sulit membedakan.
Akhirnya aku memang pasrah dan percaya untuk mengikuti arah langkah Safira.
Jongkok, lari, meraba medan
itulah yang kami lakukan ketika melakukan perjalanan dengan petunjuk suara
tersebut. Secara refleks kami pasti tidak mau akan terjadi hal-hal buruk.
Sehingga kami tetap harus berjalan dnegan hati-hati dan konsentrasi. Jalanan
terasa terjal, naik, menurun, dan licin. Semua itu menjadi hal yang perlu
diperhatikan. Kaki kami serasa menjadi peraba bagi medan jalanan yang kami
tempuh.
Tiba-tiba, aku sekaan tertarik
dan tanganku hampir terlepas dari pegangan anggota sangga Safira yang paling
belakang, yakni Anggun. Aku sedikit khawatir. Aku berusaha untuk tetap mengejar
pundak Anggun. Namun, aku tetap memikirkan medan agar tidak jatuh. Anggota
sanggaku yang lain sempat protes dengan ulahku yang secara tak langsung mengajak
mereka untuk berlari. Aku berusaha menenagkan mereka, dan menyampaikan bahwa
ulahku ini berasal dari barisan depan yang juga cepat berpindah. Komando dari
depan juga menjelaskan bahwa barisan belakang diperintahkan untuk menyesuaikan
barisan depna agar tidak tertinggal .
Cukup lama kami dibawa lari,
berhenti, kemudian lari kembali, berjalan meliuk-liuk seolah ada kami melewati
tebing yang sempit. Kami hanya berusaha mengikuti instruksi dari Kakak DA. Kami
tidak memikirkan apakah itu sungguhan atau hanya rekayasa. Terpenting kami
selamat dengan menuruti perintah tersebut. Kami hanya bisa pasrah dan berdoa
kepa Allah agar kami tetap diberi kekuatan dan berhasil melewati perjalanan
ini.
Tiba-tiba tanganku dari peganagan
pundak Anggun dilepas oleh Kakak DA. Aku ditarik menuju tempat lain yang kurasa
berdekatan dnegan barisan sangga Safira. Kurasa aku diperintahkan untuk membuat
barisan baru satu sangga. Tak berapa lama, setelah aku ditarik Kakak DA untuk
membuat barisan baru. Kami diperintahkan untuk duduk. Kemudian, saat yang
dinanti-nanti, kami diperbolehkan melepas ikatan slayer yang sedari tadi
menutupi mata kami. Kelegaan mulai terasa, rasa syukur kupanjatkan, karena
akhirnya aku dan teman-teman berhasil melewati tantangan yang panjang ini
dengan baik.
Setelah membuka mata, kulihat jam
tanganku. Aku terkaget setengah tak percaya, bahwa jarum jam sudah menunjukkan pukul 00.30 WIB. Aku
tak menyangkan perjalanan ini ternyata begitu panjang dan lama. Teman-temanku
yang lain juga menunjukkan reaksi yang sama ketiak mereka mengetahui bahwa
waktu itu sudah begitu alrut. Kami semua terasa lemas, bahkan ada yang
tertidur. Kami merasa kesal karena belum diperbolehkan pulang ke tenda untuk
beristirahat. Akhirnya baru pada pukul 01.30 acara jerit malam benar-benar
resmi ditutup dengan didahului oleh renungan singkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar